Kamis, 21 Mei 2009

pengertian ushul fiqih

Devinisi Ushul Fiqh

Kalimat ushul fiqh terdiri dari dua kata, yaitu kalimat ushul dan fiqh. Ushul adalah kata jamak dari ashal ( اصل ). Ashal menurut etimologi ialah pangkal, pokok, dasar dll. Misalnya: fondasi adalah tempat rumah didirikan; akar adalah penguat tegaknya pohon dan sebagainya.

Sedangkan lawan kata dari pada ashal adalah cabang ( فرع ). Jadi, jika keterangan tersebut dipakai sebagai acuan, rumah adalah cabang sedangkan fondasinya adalah ashal.

Kata yang kedua ialah fiqh, menurut etimologi artinya paham, sedangkan menurut terminology ialah:

هو العلم بالاحكام الشرعية العملية المكتسبة من ادلتها التفصيلية

“……mengetahui hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan yang diambil dari dalil-dalil secara terperinci “

seperti perbuatan mukalllaf. Baik perbuatan anggota maupum batin, seperti hukum wajib, haram, mubah, sah atau tidaknya perbuatan itu.

Jika disimpulkan ta’rif ushul fiqh ialah :

هو العلم بالقواعد والبحوث التي يتوصل بها الي الاستفادة من الاحكام الشرعية العملية من ادلتها التفصيلية

“…..ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan pembahasan yang dipergunakan dalam pengambilam hukum syara’ yang praktis dari dalil-dalil terperinci “

sedangkan dalil-dalil hukum tersebut bersumber (mengambil) dari Al qur’an, hadis, ijma’, dan qiyas. Yang telah menjadi ketetapan para ulama’ mujtahid.

Sedangkan devinisi kaidah ialah :

هي الظوابط الكلية العامة التي تشتمل علي احكام جزئية

“…. Batasan-batasan kuli yang juga umum yang bisa mencakup pada hukum juz’i”. contoh: amr itu menunjukkan wajib dan larangan menunjukkan keharaman, seperti firman Allah ta’ala:

واقيموا الصلاة واتوا الزكاة

Ayat tersebut menunjukkan akan kewajiban sholat dan zakat, sedangkan contoh larangan, yaitu firman Allah ta’ala:

لاتقربوا الزنا

Ayat tersebut menunjukkan akan keharaman berzina dan masih banyak contoh-contoh yang terdapat didalam Al qur’an.

Sedangkan yang dimaksud dengan “dalil-dalil tafsil” ialah:

هي الادلة الجزئية التي تتعلق بمسئلة بخصوصها وتدل علي حكم بعينه

“….dalil-dalil juz’i yang berkaitan pada permasalahan pada khususnya dan menunjukkan pada hukum secara spesifik “

  1. Tujuan Ilmu Ushul Fiqh

Dari penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa pokok bahasan dalam ilmu ushul fiqh ialah meletakkan kaidah-kaidah yang dipergunakan dalam menetapkan hukum bagi setiap perbuatan atau perkataan mukallaf. Dengan merealisasikan kaidah tersebut maka seorang mukallaf bisa mengetahui atau memahami hukum-hukum syara’, juga memahami ketidak jelasan nash, juga dapat mengetahui apabila ada pertentangan diantara dua buah nash, jug dapat mengetahui cara-cara atau metode para mujtahid dalam mengambil hukum dari nash, dan juga dapat mengetahui perbedaan pendapat antara fuqoha’ dalam menentukan dan menetapkan terhadap beberapa kasus.

Tidak hanya sampai disitu tujuan dari ushul fiqh dan masih banyak yang lain yang berkaitan erat dengan ushul fiqh, semisal: istihsan, istishab, qiyas, ijma’, dll.

  1. Pokok Bahasan Dalam Ushul Fiqh

Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa pokok bahasan dalam ilmu ushul fiqh ialah sumber umum hukum syara’ itu sendiri dan hukum umum yang diperoleh dari sumber hukum syara’.

Ahli ushul fiqh berbicara tentang Al qur’an dan sunah dari segi lafadlnya, baik dalam bentuk amar, nahi, ‘am, khos, mutlaq dan muqayyad. Mereka bicarakan tentang ijma’, qiyas, istihsan, istishab, mafhum, maslahatul mursalah, syariat yang ditetapkan dalam umat yang terdahulu, yang dapat dijadikan dasar dalam penetapan hukum pada setiap ucapan dan perbuatan mukallaf.

Demikianlah para ahli ushul fiqh menbahas lafadl amar dari segi pengertian aslinya yang menunjukkan wajib, lafald nahi dari segi pengertian aslinya menunjukkan haram, lafadl umum (‘am) yang pengertiaannya meliputi semua yang dapat dimasukkan kedalam pengertian itu, lafadl mutlaq dilaksanakan menurut arti aslinya demikian juaga lafadl muqayyad. Maka untuk semua itu mereka tuangkan dalam kaidah tertentu yang dinamakan kaidah hukum umum (hukum kulli) yang diambil dari sumber atau dalil umum (dalil kulli). Oleh para fuqoha’ kaidah hukum kulli dijadikan dasar menetapkan hukum pada hukum tertentu. Umpamanya dari kaidah “amar lil wujud” diterapkan dalam perjanjian bersumber dari ayat yang berbunyi:

ياايهاالذين امنوا اوفوا بالعقود

Artinya:”hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu……” (S. Al Maidah 1)

Berdasarkan kaidah “amar lil wujud” memenuhi janji hukumnya wajib. Dalam ayat yang berbunyi:

ياايهاالذين امنوا لايسخر قوم من قوم

Artinya:” hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-ngolok kaum yang lain……” (S. Al Hujarat 11)

Berdasarkan kaidah umum “nahi lit tahrim” maka ditetapkan merasa berbangga dan mengolok-ngolok golongan lain itu hukumnya haram. Dalam firman Allah yang berbunyi:

حرمت عليكم امهاتكم

Artinya:”diharamkan bagi kamu (mengawini) ibu-ibumu…..”(S.An nisa’ )

Berdasarkan keumuman ayat ini diharamkan mengawini ibu, baik ibu kandung maupun ibu susuan.

Dari uraian diatas jelaslah perbedaan antara dalil kulli dan dalil ju’i, hukum kulli dan hukum juz’i. dalil kulli ialah dalil umum yang dapat dimasukkan ke dalamnya beberapa kasus tertentu seperti amar, nahi, am, mutlaq, ijmak dan qiyas. Amar dikatakan hukum kulli karena ke dalamnya dapat dimasukkan semua lafadl yang menunjukkan perintah dan nahi dikatakan hukum kulli karena dapat dimasukkan ke dalamnya semua yang menunjukkan larangan. Amar dikatakan dalil kulli dan nash mengandung lafald amar dinamakan dalil juz’i. demikian juga nahi dalil kulli dan nash yang mengandung lafald nahi dinamakan dalil juz’i.

Hukum kulli ialah hukum umum yang masuk ke dalamnya beberapa macam seperti wajib, haram, sah, batal dan sebagainya. Wajib dinamakan hukum kulli, karena ke dalamnya dapat dimasukkan berbagai perbuatan yang wajib. Umpamanya wajib menunaikan janji, wajib mengadakan saksi dalam pernikahan. Haram adalah hukum kulli yang masuk kedalamnya beberapa macam perbuatan yang diharamkan seperti haramnya berbuat zina, haram menuduh berbuat zina, haram mencuri, haram membunuh dan sebagainya, dan haram atau wajib yang berlaku pada perbuatan tertentu dinamakan hukum juz’i.

Ahli ushul fiqh tidak membahas dalil juz’i dan tidak pula membahas hukum juz’i, namun yang mereka bahas adalah dalil dan hukum kulli yang mereka letakkan dalam kaidah umum yang nantinya oleh para fuqoha’ diterapkan pada setiap kasus. Sebaliknya para fuqoha’ tidak membahas dalil dan hukum kulli, namun yang mereka bahas adalah dalil dan hukum juz’i.

III. SELAYANG PANDANG TENTANG PERTUMBUAHAN DAN EVOLUSI FIQH DAN USHUL FIQH

Tumbuhnya hukum fiqh itu bersamaan dengan bertumbuhnya islam, karena islam itu kumpulan dari kaidah-kaidah atau aturan. Karena luasnya aspek yang diatur dalam islam, sehingga para ahli perlu membagi ajaran islam kepada beberapa bidang, seperti halnya bidang akhlak, muamalah, aqidah dll.

Kesemuanya itu dimasa Rosululloh diterangkan di dalam Al qur’an sendiri yang kemudian diperjelas lagi oleh Rosululloh dalam sunahnya. Hukum yang ditetapkan dalam Al qur’an atau sunah kadang-kadang dalam bentuk jawaban dari suatu jawaban atau disebabkan terjadinya suatu kasus atau merupakan keputusan yang dikeluarkan Rosululloh ketika memutuskan suatu perkara, jadi sumber fiqh di masa itu hanya ada dua ialah Al qur’an dan sunah.

Dimasa shahabat banyak terjadi berbagai peristiwa yang dahulunya belum pernah terjadi. Maka untuk menetapkan hukum dalam suatu peristiwa yang baru itu para sahabat terpaksa berijtihad, dalam ijtihad ini kadang-kadang terdapat kesepakatan pendapat , seperti ini dinamakan “jmak” dan kadang-kadang terjadi perbedaan pendapat yang dinamakan “atsar”. Para sahabat tidak akan menetapkan hukum suatu perbuatan terkecuali memang sudah terjadi, dan hasil ijtihad para sahabat tidak dibukukan karena itu hasil ijtihad mereka belum lagi dianggap sebagai ilmu tetapi hanya merupakan pemecahan terhadap kasus yang mereka hadapi. Karena itu hasil ijtihad para sahabat belum dinamakan fiqih dan para sahabat yang mengeluarkan ijtihad belum dinamakan fuqaha’.

Pada abad kedua dan ketiga hijriyah, yang dikenal dengan masa tabi’in, tabi’it tabi’in dan imam-imam madzhab, daerah yang dikuasai oleh umat islam semakin luas, banyak bangsa-bangsa yang bukan arab memeluk agama islam. Karena itu banyak timbul berbagai kasus baru yang sebelumnya belum pernah terjadi.karena kasus baru inilah yang memaksa para fuqoha’ berijtihad mencari hukum kasus itu, dalam berijtihad mereka bukan saja berbicara yang mungkin terjadi pada masa mendatang. Jadi sumber fiqh pada masa itu disamping Al qur’an dan sunah ditambah lagi dengan sumber lain seperi ijmak, qiyas, istishab, istihsan, maslahatul mursalah, madzhab sahabat dan syariat sebelumnya.

Di masa ini dimulai gerakan pembukuan sunah, fiqh dan berbagai macam ilmu pengetahuan lainnya. Dalam mencatat fiqh disamping mencatat pendapat juga ditambah denga dalil pendapat baik Al qur’an maupun sunah atau dari sumber lainnya. Pada masa ini orang yang berkecimpung dalam ilmu fiqh dinamakan “fuqoha” dan ilmu pengetahuan mereka dinamakan fiqh.

Orang pertama yang mengambil inisiatif dalam bidang ini adalah Malik bin Anas yang mengumpulkan sunah, pendapat para sahabat dan tabi’in, yang dikumpulkan dalam sebuah kitab ysng dinamakan kitab “Muwattha’”, yang menjadi pegangan orang Hijaz. Imam Abu Yusuf menulis beberapa buah kitab tentang fiqh yang menjadi pegangan orang Irak, Imam Muhammad bin Hasan salah seorang murid imam Abu Hanifah telah mengumpulkan tentang pendapat-pendapat imam Abu Hanifah dalam sebuah kitab “Zahirur Riwayah” yang menjadi dasar madzhab Hanafi, dan di Mesir Imam Syafi’i menyusun kitab “Al ‘Um” yang menjadi dasar madzhab Syafi’i.

Ilmu ushul fiqh baru lahir pada abad kedua hijriyah. Sebagaimana diterangkan diatas bahwa pada abad ini daerah kekuasaan umat islam makin meluas, banyak orang selain arab memeluk agama islam. Karena itu banyak menimbulkan kesamaran dalam memahami nash, sehingga di rasa perlu menetapkan kaidah-kaidah bahasa yang dipergunakan dalam membahas nash, maka lahirlah ilmu ushul fiqh yang menjadi penuntun dalam memahami nash.

Namun semenjak lahirnya ilmu ushul fiqh sebagaimana juga lahirnya ilmu pengetahuan yang lain, baru dalam bentuk yang sangat sederhana, pembahasannya masih berserakan dalam pembahasan dalil yang baru dikemukakan untuk memperkuat dan mempertahankan pendapat.

Menurut Ibnu Nadim dalam kitabnya yang bernama “Fahrasat” bahwa orang yang mula-mula mengumpulkan kaidah-kaidah itu dalan suatu catatan ialah Abu Yusuf namun sangat disayangkan catatan ini tidak sampai ke tangan kita. Oleh ahli ushul dianggap yang pertama mengumpulkan dan menyusun ilmu ini adalah Imam Syafi’i dalam kitabnya yang bernama “Risalah”. Dan dibelakang lahirlah para penulis lain yang melengkapi dan menyempurnakan seperti Imam Ghazali (505 H) dalam kitabnya yang bernama “Al Musthofa”, Al Amidi (631 H) dalam kitabnya yang bernama “Al Minhaj” yang disyarahkan oleh Asnawi.

Dari kalangan madzhab Hanafi yang terkenal seperti Abu Zaid Ad Dabbas (430 H) dalam kitabnya yang bernama “Ushul”, Fathul Islam Al Bazdawi (430 H) dalam kitabnya yang bernama “Ushul” dan Nasafi (790 H) dalam kitabnya yang bernama “Al Manar”.

Di samping itu lahirlah pula kitab yang bernama “Kitab Badi’il Nizam Al Jami Baina Bazdawi Wal I’tisom” oleh Muzafaruddin Al Badadi Al Hanafi (644 H), kitab “Tahrir” oleh Kamal bin Human dan kitab “Jam’ul Jawani” oleh Ibnu Subki.

Di abad sekarang ini ada pula beberapa buah kitab ditulis oleh para ulama’ yang di antaranya “Irsyadul Fuhul” oleh Syaukani (1250 H), kitab ushul fiqh oleh Hudari Bek (1927 M), kitab “Tahsilul Wusul” oleh Muhammad Abdurrohman Mahlawi (1920 M). dan banyak lagi kitab-kitab yang berbicara tentang ushul fiqh.

IV. KESIMPULAN

Ilmu Ushul Fiqh sangat relevan dikembangkan dalam masyarakat modern, terutama bagi ulama’ dan intelektual muslim yang memiliki otoritas untuk memproduk hukum dan memberi fatwa yang sesuai dengan perkembangan zaman. Sehingga produk fiqh yang mereka tawarkan, benar-benar menyentuh segala aspek kehidupan bermasyarakat. Tidak perlu kaku, mempersulit, dan hanya mengukur kemampuannya sendiri, sehingga hukum yang ada tidak mampu untuk di emban oleh masyarakat luas, dan pada gilirannya hukum justru akan di tinggalkan. Dan juga tidak perlu liberal (bebas), sehingga berakibat pada tidak adanya ukuran yang pasti dan jelas, yang kemudian hukum tak ubahnya buih dilautan, yang bisa diperalat sebagai justifikasi oleh oknum-oknum tertentu.

Jika kita memang telah sepakat bahwa islam adalah agama yang sangat relevan dalam setiap dimensi ruang dan waktu. Bukankah diantara relevansinya itu setiap muslim, para ulama’ yang sudah mumpuni keilmuannya bisa meletakkan hukum yang sesuai dengan lingkungan masing-masing. Sekalipun menyalahi ketentuan yang sudah ada sebelumnya. Pertanyaannya, kenapa kebanyakan ulama’ masa sekarang merasa puas bahkan merasa cukup dengan keputusan hukum yang ditetapkan oleh ulam’ sekitar 14 abad yang silam.

Secara pribadi, penulis optimis bahwa dalam masyarakat kita sekarang banyak ulama’ yang mengikuti pola kesalafan dan intelektual muslim yang berkualitas tinggi, mampu menelorkan hukum-hukum islam yang menitik beratkan pada kehidupan modern sekarang dan setelahnya. Tanpa harus membuang jauh warisan islam khazanah islam klasik.

Kita hanya bisa berharap dan semoga harapan itu bisa menjadi kenyataan agar kedua golongan diatas bisa duduk bersama dalam meja hijau, gna mendiskusikan dalam segala hal yang menyangkut masyarakat muslim, dan ikut serta memberikan sumbangan besar terhadap perkembangan hukum-hukum islam..

KARAKTERISTIK USHUL FIQIH

MENURUT HANAFIYAH DAN SYAFIIYAH

  1. PEMBAHASAN

    1. HANAFIYAH

Imam Abu Hanifah di lahirkan di kota Kufah pada tahun 80 H (699 M). Beliau mula-mula mempelajari Ilmu Kalam, kemudian mempelajari Ilmu Fiqih dengan seorang yang bernama Hamad Bin Sulaiman di kota Kufah dan wafat pada tahun 150 H (769M) di Bagdad.

Irak dimana Abu Hanifah dilahirkan suatu daerah yang penuh dengan pergolakan politik dan letaknya jauh dari kota Madinah yang tentunya jumlah hadist yang ada di daerah ini sangat sedikit dan juga kalangan Khawarij dan Syiah yang berupaya menarik perhatian umat Islam unutk memperkuat propaganda politik mereka.

Dasar-dasar istidlal yang digunakan oleh Abu Hanifah adalah Al Qur’an, Sunnah dan Ijtihad dalam pengertian luas. Artinya jika nash AlQur’an dan Sunnah secara jelas-jelas menunjukkan suatu hukum itu disebut, maka beliau mengambil dari keduanya. Tetapi bila nash tersebut menunjukkan secara tidak langsung/hanya memberikan kaidah-kaidah dasar yang menunjukkan moral, Illat maka pengambilan hukum tersebut melalui Qiyas.

Dalam pernyatan tersebut Abu Hanifah tidak menyebutkan Qiyas dan Ihtishan ke dalam dasar-dasar yang menjadi pijakan dalam berijtihad sebab yang Beliau maksudakan ialah dasar Naqliyah sementara Qiyas dan Istihsan merupakan metode Istidlal Aqliyah. Masalah ini dapat di pahami dari pernyataan Abu Hanifah bahwa ” beliau tidak merujuk pada pendapat sahabat kecuali apabila tidak ditemukan dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi. Demikian pula apabila tidak ditemukan dalam pendapat sahabat dan masalahnya sampai pada tabiin maka Beliau berijtihad sebagaimana mereka berijtihad “.

Dalam masalah ini sebenarnya belum ada perbedaan dengan para imam yang lain. Semua imam sepakat tentang keharusan merujuk pada Al Qur’an dan Sunnah. Yang membedakan dasar-dasar pemikiran Abu Hanifah dengan yang lain sebenarnya terletak pada kegemaran Beliau dalam menyelami suatu hukum, mencari tujuan moral dan kemaslahatan yang menjadi sasaran utama disariatkannya suatu hukum. Termasuk dalam hal ini adalah teori penggunaan qiyas,istihsan, urf (adat kebiasaan), kemaslahatan dan lainnya. Perbedaan yang lebih tajam lagi bahwa Imam Abu Hanifah menggunakan

teori-teori tadi dan sangat ketat dalam penggunaan hadist ahad, tidak seperti para imam lainnya. Imam Abu Hanifah sering menafsirkan suatu nash dengan membatasi konteks aplikasinya dalam kerangka, illat, hikmah, dan tujuan-tujuan moral dan bentuk kemaslahatan yang Beliau pahami. Betapapun Abu Hanifah terkenal dengan mazhab rasionalis yang acapkali menyelami dibalik arti dan illat suatu hukum dan sering mempergunakan Qiyas tetapi itu tidak berarti beliau telah mengabaikan nash-nash Al Quran dan sunnah. Tidak ada riwayat shohih yang menyebutkan bahwa Abu Hanifah mendahulukan rasio daripada Sunnah. Bahkan jika beliau menemukan pendapat sahabat yang benar beliau menolak untuk berujtihad. Dengan kata lain pemikiran fikih Abu Hanifah tidak berdiri sendiri, tetapi malah berakar kuat pada pendahulunya di Irak dan juga para ahli hadits di Hijaz.

Muhammad Bin Ahsan, seperti yang dikutip oleh Abu Zahrah membenarkan dalam masalah hukum seseorang melakukan hubungan dengan istrinya sebelum Tawaf, Abu Hanifah mengambil pendapat Ibnu Abbas seorang ulama’ Ahli Hadits Makkah dan menolak pendapat Ibrahim yang dikenal banyak mewariskan pemikiran fiqih rasional kepadanya.

Secara faktual pemikiran Abu Hanifah memang sangat mendalam dan rasional. Beliau memberi syarat yang cukup ketat dan selektif dalam penerimaan hadits ahad. Bagi Abu Hanifah ada 3 syarat yang harus di penuhi dalam penerimaan hadits ahad sbb:

  1. Orang yang meriwayatkan hadits tidak boleh berbuat/berfatwa yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan.

  2. Hadits ahad tidak boleh menyangkut persoalan umum dan sering terjadi sebab kalau menyangkut persoalan umum dan sering terjadi mestinya hadits tersebut diriwayatkan oleh banyak perawi tidak seorang saja.

  3. Hadits ahad tidak boleh bertentangan dengan kaidah – kaidah umum atau dasar – dasar kulliyah.

Abu Hanifah lebih mengutamakan hadits yang diriwayatkan oleh fuqoha’ dari pada seorang ahli hadits kejujuran saja belum cukup unutk mengetahui seluk beluk hadits apalagi yang menyangkut hukum. Oleh karena itu Abu Hanifah lebih mengutamakan hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang mengerti masalah fiqih.

Kondisi sosiologis dimana Abu Hanifah dibesarkan tentu mempengaruhi cara berfikir. Dengan sikap selektif dalam penerimaan hadits ahad Abu Hanifah dapat lebih leluasa melakukan penafsiran hadits-hadits shahih, menyelami tujuan moral dan banyak mempergunakan rasio sehingga mampu memberi jawaban perkembangan terhadap berbagai perkembangan pada saat itu. Para ahli fiqih diwilayah Kufah lebih banyak mengenal dan mengerti hadits dari fuqoha bukan dari para muhaddisin. Sudah barang tentu Abu Hanifah dituntut untuk menyeleksi hadits yang sampai ke Kufah atau minimal menyangsikan kesahihan hadits atau perawinya yang tidak memenuhi persyaratan. Dari situ beliau cenderung memakai rasio dan ijtihad.

Dr. Faruq Abu Zaid menyebut beberapa faktor lain yang melatar belakangi kecenderungan dan metode rasional Abu Hanifah. Penduduk Kufah tempat Beliau dilahirkan dan dibesarkan merupakan masyarakat yang sudah banyak mengenal kebudayaan dan peradaban. Fuqoha’ daerah ini sering dihadapkan pada berbagai pedoman hidup berikut problematikanya yang beranekaragam. Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut mereka terpaksa memakai ijtihad dan akal. Keadaan ini berbeda dengan Hijaz. Masyarakat daerah ini masih diliputi oleh suasana kehidupan Badawah (sederhana) seperti keadaan pada masa Nabi. Untuk mengatasi berbagai masalah dalam kondisi seperti ini para ahli fiqih merasa cukup dengan mengandalkan Al Quran, Sunnah dan Ijma’ para sahabat. Karena itulah mereka tidak merasa perlu berijtihad seperti fuqoha’ Irak.1

Faktor lain yang menyebabkan Abu Hanifah menjadi seorang rasionalis bahwa Beliau tidak langsung menggumuli Ilmu-ilmu syariat. Pada awal kehidupan Iklmiahnya Beliau mempelajari Ilmu kalam kemudian belajar Fiqih kepada Syeh Hammad Bin Sulaiman. Beliau juga seorang pedagang kain yang menyebabkan Beliau mempunyai pengalaman yang luas dalam bidang perdagangan. Studinya dalam Ilmu kalam membuatnya tampil dalam menggunakan logika unutk mengatasi berbagai persoalan Fiqih.

    1. SYAFIIYAH

Muhammad Bin Idris Asy Syafii dilahirkan dikota Gaza (Palestina) pada tahun 150 H ketika masih kecil dibawa Ibunya ke Makkah dan di kota tersebut Beliau belajar Hadis dengan Muslim Al Zanji dan Sofyan Bin Umaiyah. Sesudah itu Beliau meneruskan pelajarannya ke kota Madinah dan belajar dengan Imam Malik.

Setelah beberapa tahun Beliau melakukan perjalanannya ke berbagai kota kemudian beliau sempat singgah di Bagdad selama beberapa tahun. Selama di Bagdad Beliau menghimpun pandangan Fiqihnya berdasarkan pengalaman yang sudah dialaminya dalam sebuah kitab yang dinamakan “Al Hujjah” dan juga dinamakan mazhab qadim/qoul qadim. Pada tahun 198 H atas permintaan Gubernur Abbas Bin Musa untuk mengunjungi Mesir dan beliau berada di Mesir selama 6 tahun sampai beliau wafat pada tahun 204 H. Selama di Mesir Beliau mengubah pendapatnya yang lama yang di tulis pada saat di Bagdad di ganti dengan pendapat baru yang dinamakan pendapat jadid/qoul jadid yang terhimpun dalam kitab “Al Um” selama dalam perantauan. Disamping itu Imam Syafii juga menulis kitab “Ar Risdalah” yang menjadi dasar Ilmu Ushul Fiqih.

Mazhab Syafii adalah satu-satunya mazhab yang tersebar tanpa mendapat dukungan dari pemerintah tersebar dikarenakan dalam menetapkan hukum selalu mempergunakan dalil nash. Karena itu ajaran imam Syafii dapat menghimpun kedua aliran yang berkembang pada masanya yaitu Ahli Hadits dan Ahlu Ra’yi. Karena Beliau pernah belajar kepada kedua tokoh aliran tersebut. Namun Beliau tidak terpengaruh kepada Aliran Ahlu Ra’i tetapi lebih banyak kepada aliran Ahlul hadits.

Adapun cara pengambilan hukum dalam Mazhab Syafii lebih dahulu mengambil dalam Al Qur’an dan kalau tidak ditemui baru ke dalam Sunnah dan dari kedua sumber ini berdasarkan harfiyah nash selama tidak ada hal yang memalingkan dari arti hakiki ke arti majazi. Dalam bidang Hadits Imam Syafii berbeda dengan Mazhab Hanafi karena Imam Syafii masih menerima hadits ahad sebagai sumber fiqihnya dan juga berbeda dengan Mazhab Maliki sebagai sumber fiqihnya dan juga berbeda dengan mazhab Maliki yang menganggap perkataan dan perbuatan para sahabat dapat dijadikan sebagai dalil serta perbuatan penduduk kota Madinah dapat dijadikan dalil. Kalau tidak ada sumber tersebut barulah Beliau mengambil ijmak baik ijmak sahabat maupun tabiin

dan ijmak baru dicari hukumnya melalui kias dengan syarat pokok kias bersumber pada Al Qur’an atau Sunnah atau Ijmak sesudah itu menggunakan Istishab.

Imam Syafii menyebutkan 4 cara Al Qur’an dalam menerangkan suatu hukum sbb:

  1. Al Qur’an menerangkan suatu hukum dengan nash-nash hukum yang jelas. Seperti nash yang mewajibkan sholat, zakat, puasa, haji atau nash yang mengharamkan zina, minum khomr dll.

  2. Suatu hukum yang disebut secara global dalam Al Qur’an dan dirinci dalam Sunnah Nabi. Seperti jumlah rokaat Sholat, waktu pelaksanaannya, zakat apa dan berapa kadar yang harus dikeluarkannya. Semua itu disebut secara global dalam Al Qur’an dan Nabilah yang menerangkan secara perinci.

  3. Nabi Muhammad SAW juga sering menentukan suatu hukum yang tidak ada nash hukumnya dalam Al Qur’an. Bentuk penjelasan penjelasan Al Qur’an untuk masalah seperti ini dengan mewajibkan taat kepada Nabi dan menjauhi larangannya. Dalam Al Qur’an disebutkan yang artinya sbb:

“….. Barang siapa yang taat kepada Rosul berarti ia taat kepada Allah …” (Q.s 4:80)

Dengan demikian suatu hukum yang ditetapkan oleh Sunnah berarti juga ditetapkan oleh Al Qur’an. Karena Al Qur’an memerintahkan untuk mengambil apa yang diperintahkan oleh Nabi … (Qs 59:7)

  1. Allah juga mewajibkan hambanya unutk berijtihad terhadap berbagai persoalan yang tidak ada ketentuannya dalam Al Qur’an dan Hadits. Penjelasan Al Qur’an terhadap masalah seperti ini yaitu dengan membolehkan untuk berijtihad (bahkan mewajibkan) sesuai dengan kapasitas pemahaman terhadap Maqasid Al Syar’iah (tujuan-tujuan hukum syariah) misalnya dengan Qiyas / penalaran analogi. Dalam Al Qur’an disebutkan:

“ Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan Rosulnya dan orang-orang yang mempunyai kekuasaan diantara kamu. Maka apabila kamu berselsih tentang sesuatu kembalikanlah kepada Allah dan Rosulnya “ (Qs.4:59)

Menurut Imam Syafii kembalikan kepada Allah dan Rosulnya berarti kembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah. Dan pengembalian itu hanya dapat dilakukan dengan Qiyas. Beliau juga menyebutkan bahwa Ijtihad merupakan perintah AlQur’an itu sendiri dan bukan merekayasa hukum.

Dari keterangan tersebut dapat diketahui “posisi tengah” pemikiran metodologis Syafii. Beliau sangat berpegang teguh pada Al Qur’an dan Sunnah.

III. KESIMPULAN

Dari keterangan tersebut dapat diketahui bahwa sesuai dengan kondisi di irak Imam Abu Hanifah dalam membina Fiqihnya lebih dahulu mengutamakan AlQur’an sebagaimana imam-imam yang lain kemudian Sunnah. Hanya dalam pemakaian Sunnah beliau meletakkan syarat yang sangat berat sekali. Jadi dengan demikian jelas Imam Abu Hanifah diantara imam-imam Mazhab lainnya terkenal yang paling banyak mempergunakan rasio.

Adapun cara pengambilan hukum dalam Mazhab Syafii lebih dahulu mengambil dalam Al Qur’an dan kalau tidak ditemui baru ke dalam Sunnah dan dari kedua sumber ini berdasarkan harfiyah nash selam atidak ada hal yang memalingkan dari arti hakiki ke arti majazi. Dalam bidang Hadits Imam Syafii berbeda dengan Mazhab Hanafi karena Imam Syafii masih menerima hadits ahad sebagai sumber fiqihnya dan juga berbeda dengan Mazhab Maliki sebagai sumber fiqihnya dan juga berbeda dengan mazhab Maliki yang menganggap perkataan dan perbuatan para sahabat dapat dijadikan sebagai dalil serta perbuatan penduduk kota Madinah dapat dijadikan dalil. Kalau tidak ada sumber tersebut barulah Beliau mengambil ijmak baik ijmak sahabat maupun tabiin

dan ijmak baru dicari hukumnya melalui kias dengan syarat pokok kias bersumber pada Al Qur’an atau Sunnah atau Ijmak sesudah itu menggunakan Istishab.

1

Tidak ada komentar: