BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG PENULISAN
Hukum syara’ adalah hukum yang sangat penting untuk dipelajari terlebih lagi bagi orang yang sudah baligh (dewasa) dan berakal. Karena hukum syara adalah peraturan dari Allah yang sifat mengikat bagi semua umat yang beragama Islam.
Oleh karena itu penyusun mencoba membuat tulisan sederhana untuk membahas ilmu yang berhubungan dengan hukum syara serta unsur-unsur yang terdapat di dalamnya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian hukum syara’?
2. Berapa macam pembagian hukum syara’?
3. Berapa macam bentuk-bentuk hukum taklifi?
4. Berapa macam bentuk-bentuk hukum wadh’i?
5. Apa pengertian mahkum bih?
6. Apa pengertian mahkum alaih?
7. Siapakah pembuat hukum (hakim) bagi umat Islam?
C. METODE PENULISAN
Dalam penulisan makalah ini penyusun menggunakan metode library research (metode kepustakaan), yaitu dengan jalan mengumpulkan dan mempelajari buku-buku dengan tujuan untuk mengambil dan mendapatkan bahan-bahan yang ada hubungannya tentang hukum syara dan unsur-unsurnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. HUKUM SYARA
1. Pengertian Hukum syara
Hukum syara adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.[1]
2. Pembagian Hukum Syara
Hukum syara terbagi dua macam:
a. Hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat atau meninggalkan.
b. Hukum wadh’i adalah firman Allah swt. yang menuntuk untuk menjadikan sesuatu sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain.
3. Bentuk-Bentuk Hukum Syara
Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqih/mutakallimin ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah dan tahrim.
a. Ijab, adalah tuntutan syar’i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh ditinggalkan. Orang yang meninggalkannya dikenai sanksi. Misalnya, dalam surat An-Nur: 56 yang artinya: “Dan dirikanlah sholat dan tunaikan zakat….”
b. Nadb adalah tuntutan untuk melaksanakan sesuatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang meninggalkannya. Misalnya: dalam surah al-Baqarah ayat 282 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya….”[2]
Kalimat maka tuliskanlah olehmu”, dalam ayat itu pada dasarnya mengandung perintah, tetapi terdapat indikasi yang memalingkan perintah itu kepada Nadb yang terdapat dalam kelanjutan dari ayat tersebut (al-Baqarah: 283), yang artinya: “Akan tetapi, apabila sebagian kamu mempercai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya….”
Tuntutan perintah dalam ayat itu, berubah menjadi nadb. Indikasi yang membawa perubahan ini adalah kelanjutan ayat, yaitu Allah menyatakan jika ada sikap saling mempercayai, maka penulisan utang tersebut tidak begitu penting. Tuntutan Allah seperti disebut dalam Nadb.
c. Ibahah adalah khitab Allah yang bersifat fakultatif mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat atau tidak berbuat secara sama. Akibat adai khitab Allah ini disebut juga dengan ibahah, dan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah. Misalnya firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 2, yang artinya: “Apabila kamu telah selesai melaksanakan ibadah haji bolehlah kamu berburu”.
d. Karanah,adalah tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa. Dan seseorang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu tidak tidak dikenai hukuman. Akibat dari tuntutan ini disebut juga karanah, misalnya hadis Nabi Muhammad saw. yang artinya: “perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak.” (HR. Abu Daud, Ibn Majah, Al-Baihaqi dan Hakim).
e. Tahrim adalah tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang memaksa. Akibat dari tuntutan ini disebut hurmah dan perbuatan yang dituntut itu disebut dengan haram. Contoh memakan bangkai dan sebagainya. Misalnya, firman Allah dalam surah Al-An’am: 151, tentang larangan membunuh. Yang artinya: “Jangan kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah…..”
Khitab ayat ini disebut dengan tahrim, akibat dari tuntutan ini disebut hurmah, dan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan, yaitu membunuh jiwa seseorang disebut dengan haram.
4. Macam-Macam Hukum Wadh’i
a. Sebab, adalah suatu hukum yang dijadikan syar’i sebagai tanda adanya hukum. Misalnya dalam firman Allah dalam surat al-Isra: 78, yang artinya: “Dirikanlah shalat sesudah matahari tergelincir.”
Pada ayat tersebut, tergelincir matahari dijadikan sebab wajibnya shalat.
b. Syarat, adalah sesuatu yang berada diluar hukum syara’tetapi keberadaan hukum syara bergantung kepadanya. Misalnya firman Allah dalam surat an-Nisa: 6 yang artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin (dewasa).”
Ayat tersebut menunjukan kedewasaan anak yatim menjadi syarat hilangnya perwalian atas dirinya.”
c. Mani’ (penghalang), adalah sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab. Misalnya dalam hadis nabi yang berbunyi: “Pembunuh tidak memdapat waris.”
Hadis tersebut menunjukkan bahwa pembunuhan sebagai penghalang untuk mendapatkan warisan.
d. Shahih, adalah suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara, yaitu terpenuhnya sebab, syarat dan tidak ada mani.
e. Bathil, adalah terlepasnya hukum syara dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya. Misalnya: memperjualbelikan minuman keras. Akad ini dipandang batal, karena minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan syara’.
B. OBJEK HUKUM (MAHKUM BIH)
Objek hukum atau mahkum nih yaitu perbuatan mukallaf yang bersangkutan dengan hukum syar’i.[3]
Adapun syarat-syarat untuk suatu perbuatan sebagai objek hukum menurut para ahli Ushul Fiqh adalah sebagai berikut:
1. Perbuatan itu sah dan jelas adanya; tidak mungkin memberatkan seseorang melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan seperti mencat langit.
2. Perbuatan itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan mengerjakan serta dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya.
3. Perbuatan itu sesuat yang mungkin dilakukan oleh mukallaf dan berada dalam kemampuannya untuk melakukannya.
C. SUBJEK HUKUM (MAHKUM ‘ALAIH)
Subjek hukum atau pelaku hukum ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah.
Adapun syarat-syarat taklif atas subjek hukum, adalah sebagai berikut:
1. Ia memahami atau mengetahui titah Allah tersebut yang menyatakan bahwa ia terkena tuntutan dari Allah.
2. Ia telah mampu menerima beban taklif atau beban hukum.
3. Ahliyah al-Ada Kamilah atau cakap berbuat hukum secara sempurna, yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa.
D. PEMBUAT HUKUM (HAKIM)
Pembuat hukum (syar’i) dalam pengertian Islam adalah Allah SWT. Dia menciptakan manusia di atas bumi ini dan Dia pula yang menetapkan aturan-aturan bagi kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan kepentingan hidup di dunia maupun untuk kepentingan hidup di akhirat; baik aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah, maupun hubungan manusia dengan sesamanya dan alam sekitarnya.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pembuat hukum (syar’i) satu-satunya bagi umat Islam adalah Allah. Sebagaimana ditegaskan firman Allah dalam surat al-An’am: 57, Yusuf: 40 dan 67 yang artinya: “Sesungguhnya tidak ada hukum kecuali bagi Allah.”
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ø Hukum syara adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.
Ø Hukum syara terbagi menjadi dua macam yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
Ø Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqih/mutakallimin ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah dan tahrim.
Ø Hukum wadh’i terbagi menjadi 5 macam yaitu sebab, syarat, mani, shihah dan bathil.
Ø Objek hukum atau mahkum nih yaitu perbuatan mukallaf yang bersangkutan dengan hukum syar’i
Ø Mahkum ‘alaih atau pelaku hukum ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah.
Ø Pembuat hukum (syar’i) dalam pengertian Islam adalah Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
· Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqh. Ciputat: Logos Wacana Ilmu.
· Syafi’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : Pustaka Setia.
· Khalaf, Abdul, Wahab. 1995. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Rineka Cipta
[1] Amir Syarifuddin,. 1997. Ushul Fiqh. Ciputat: Logos Wacana Ilmu
[2] Rachmat Syafi’i. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : Pustaka Setia
[3]Abdul Wahab Khalaf. 1995. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Rineka Cipta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar