Senin, 23 November 2009

SYARAT-SYARAT HADITS SHAHIH


SYARAT-SYARAT HADITS SHAHIH



Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas pada
mata kuliah “Ulumul Hadits”




Disusun Oleh :
1. Liana Dewi Susanti 210208023
2. Ani Sri Wahyuni 210208024
3. Susi Lestari 210208025

Dosen Pengampu :

Bu Irma



JURUSAN SYARI’AH
PRODI MU’AMALAH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2009

BAB I
PENDAHULUAN


Ada beberapa hal yang sangat penting dan mesti kita ketahui dalam majalah hadits yaitu ;
1. Pada awalnya Rasulullah saw melarang para sahabat menuliskan hadits karena dikhawatirkan akan bercampur baur penulisannya dengan Al-Qur’an
2. Perintah untuk menuliskan hadits yang pertama kali adalah oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz.
3. Ulama yang pertama kali mengumpulkan hadits adalah Ar-Rabi bin Shabi dan Said bin Abi Arabah
4. Pada kurun ke-2 Imam masih menulis Al-Muwatha di Madnah, di Makkah hadits, dikumpulkan oleh Muhammad Abdul Malik bin Ibnu Juraiz, di Syam Imam Al-Auzai, di kuffah oleh Sufyan At-Tsauri, di Basrah oleh Hammad bin Salamah
5. Pada awal abad ke-3 H mulai dikarang kitab-kitab, musnad, seperti musnad Na’m Ibnu Hammad.
6. Pada pertengahan abad ke-3 H mulai dikarang kitab shahih Bukhari Muslim.
Disini kami akan coba menjelaskan mengenai syarat-syarat hadis shohih dan yang berkaitan dengannya.

BAB II
PEMBAHASAN

PENGERTIAN
Ada beberapa pendapat mengenai pengertian hadits shahih, diantaranya:
1. Disebutkan dalam muqaddimah Ath Thariqoh Al Muhammadiyah bahwa hadits shahih ialah:
ماسلم لفظه من ركا كة ومعناه من مخالفة اية او خبر متوا تر اواجماع وكان رواته عدولا
“Hadits yang sejahtera lafadhnya dari keburukn susunannya, sejahtera maknanya dari menyalahi ayat, atau khabar mutawatir atau ijma’ dan segala perawinya orang yang adil.”

2. Disebutkan dalam At Ta’riefat x bahwa hadist shahih ialah:
ماسلم لقظه من ركاكة وسلم معناه من مخالفة اية اوخبر متواتر واتصل اسناده بنقل عدل ضابظ
“Hadits yang sejahtera lafadhnya dari keburukan susunan, sejahtera maknanya dari menyalahi ayat, atau khabar mutawatir, dan tsanadnya bersambung-sambung dengan orang yang adil lagi keras hafalannya.”

3. Al Hafidz Ibnu Hajar x mengatakan bahwa hadist shahih ialah:
مارواه عدل تام الضبط متصل مسند غير معلل ولا شاد
“Hadist yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna keras ingatannya bersambung-sambung terus sanadnya kepada Nabi SAW, tidak tidak ada sesuatu yang cacat dan tidak bersalahan riwayar itu dengan riwayat itu dengan riwayat orang yang lebih rajin dari padanya.

Dari ketiga pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa hadits yang shahih adalah hadits-hadits yang memenuhi 5 syarat yaitu :
a. Persambungan sanad
b. Keadilan para perawi (adalah ar-ruwah)
c. Para perawi bersifat dhabith (dhabth ar-ruwah)
d. Tidak terjadi kejanggalam (syadzdaz)
e. Tidak terjadi ‘illat.

A. Persambungan Sanad (إتصل السند)
Sanad menurut lughawi berarti sandaran, yang dapat dipercaya, kaki bukit. Sedangkan menurut istilah berarti jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadits.
Maksud persambungan sanad adalah tiap rowi hadits tersebut menerima hadits dari rawi terdekat sebelumnya.
Suatu sanad hadits dinyatakan bersambung apabila
a. Seluruh periwayat dalam sanad itu benar-benar siqat ladil
b. Antara masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat sebelumnya dalam sanad benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadits secara sah.
Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya sanad sebuah hadits para ulama menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut :
c. Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti
d. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat
e. Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para periwayat yang terdekat dalam sanad.

B. Keadilan Para Parawi (adalah ar-ruwah)
Pengertian adil dalam bahasa adalah seimbang atau meletakkan sesuatu pada tempatnya, lawan dari lazim.
Dalam menilai keadilan seseorang tidak harus meneliti ke lapangan langsung, dengan cara bertemu langsung, hal ini sangat sulit, dilakukan karena mereka para perawi hadits hidup pada abad awal perkembangan Islam. Kecuali mereka yang hidup bersamanya atau yang hidup sezaman. Oleh karena itu, dalam menilai keadilan seseorang periwayat cukup dilakukan dengan salah sau tehnik berikut :
1) Keterangan seorang atau beberapa ulama’ ahli ta’dii bahwa seseorang itu bersifat adil, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab al-Jarh wa at’dii
2) Ketenaran seseorang bahwa ia bersifat adil seperti Imam empat, Hanafi, Maliki, Asy-Syafii dan Hambali.
Menurut al-khathib al-baqdadi adilnya para Rasul tercermin dalam kemandapan beragamnya, sekaligus terhindar dari segala bentuk kefasikan, dan rendahnya muruah, ini dikuatkan oleh Dr. Subhi ash-shalih yang menyatakan bahwa adil-nya rowi terlihat pada pengalaman dan ketekunannya dalam menunaikan ajaran agama, terhindat dari perbuatan terlarang dan keji, memprioritaskan kebenaran serta memelihara ucapannya keadilan rawi yang digunakan :

a) Popularitas keutamaan dan kemaiyaannya dikalangan ulama’ hadis.
b) Peneliti dari para kritikus rowi yang berisi pengungkapan terhadap kelebihan dan kekurangan yang ada pada rowi tersebut.
c) Penerapan kaedah al-jarh wa at-fa’dil yang dipakai ketika para kritikus rawi tidak sepakat dalam menitai rowi.
Jadi dengan demikian penerapan keadilan rowi hadis diperlukan kesaksian para ulama’

C. Para Perawi bersifat dhabith (Dhabth ar-rawah)
Maksudnya para perawi mempunyai daya ingat yang kuat dan sempurna, daya ingat dan hafalan kuat ini sangat diperlukan dalam rangka hafalan kuat ini sangat diperlukan dalam rangka menjaga otoritas, hadits, mengingat tidak seluruh hadis, tercatat pada masa awal perkembangan Islam atau jika tercatat catatan tulisannya harus selalu benar tidak terjadi kesalahan yang mencurigakan sifat dhabith ada dua macam :
1) Dhobith dalam dada (adh-dholath fi-shudur)
artinya memiliki daya ingat dan hapal yang kuat sejak ia menerima hadis dari seseorang Syakh atau seorang gurunya sampai dengan pada saat menyampaikan kapan saja diperlukan kepada orang lain.
2) Dhobith dalam tulisan (adh-bhabth fi ash-sudur)
Artinya tulisan hadisnya sejak mendengar dari gurunya terpelihara dari perubahan, pergantian, dan kekurangan. Singkatnya tidak terjadi kesalahan-kesalahan tulis kemudian di ubah dan diganti karena hal demikian akan mengandung keraguan atas kethabith-an seseorang.
Untuk mengetahui ke dhobith-an seseorang, dapat dilakukan dengan diadakan komparasi dengan periwayat orang-orang tsiqah lain atau dengan keterangan seorang peneliti yang dapay dipertanggung jawabkan (ma;tabar). Bandingkan sanad hadis periwayatan seseorang dengan berbagai sanad yang berbeda, jika periwayatan orang-orang tsiqoh berarti ia dhabth jika banyak bertentangan, berarti ia tidak dhabith.

D. Tidak terjadi Kejanggalam (Syadzdz) / (Syadz)
Syadz dalam bahasa berarti ganjil, terasing/menyalahi aturan. Maksud Syadzdz disini adalah periwayat orang tsiqah (terpecaya yakni adil dan dhabith) bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih tsiwah. Dengan demikian, jika disyaratkan hasid shahih harus tidak terjadi Syadzdz berarti hadist tidak terjasi adanya periwayatan orang tsaqah bertentangan dengan orang yang leboh Stiqah. Akan tetapi, jika periwayat seorang dhaif bertentangan dengan periwayatan orang tsiwah tidak dinamakan syuadzdz, tetapi hadid munkar yang tergol, hadis dhaid, periwayatan orang tsaqih bertentangan dengan seorang dha’if dsb ma’ruf.
Menurut al-syafi’lt suatu Syadzdz oleh ulama dan sebagainya hadid Syadz, sedang “lawan” dari hadis Syadz dsb sebagai hadis mahfuzh. Kalau begitu, Argumen yang mendasari timbulnya unsur terhindar dari Syudzudz adalah argumen metodologi. Maksudnya :
a) Pada tahap penelitian I, hadis tertenru yang akhirnya dinyatakan bersyudzudz itu adalah hadis yang berkualitas
b) Pada tahap penelitian berikutnya, sanad yang tadinya dinilai sahih itu diperbandingkan dengan sanad-sanad lainnya yang juga sahih karena sanad tersebut bertentangan, maka sanad yang bertentangan itu dinyatakan tidak sahih.
Apabila istilah siqat merupakan gabungan dari istilah adil dan dhahith maka dikalahkannya periwayat yang siqat oleh yang lebih siqat bukanlah dari segi keadilan, melainkan dari segi kedhabithannya karena:
a) Sifat adil adalah sifat dasar yang dimilai oleh seorang periwayat yang dipercaya.
b) Tingkatan dhabith-an ada 2 : dhabith dan dhabith plus (tam al-dhabth). Disamping itu ada pula istilah khafif al dabth yaitu kurang sedikit dhabith-annya dan kualitas hadisnya dsb hasan. Sedang walau sifat adil pada kenyataannya. Tingkat intensitas keadilan periwayatan dapat saja berbeda, tetapi dalam ilmu hadis tidak dikenal istilah-istilah a’dal (lebih adil) dan khafif al ‘adl (kurang sedikit adil).
Dengan demikian dapat ditegaskan, bahwa penyenan utama Syadz sanad hadid adalah karena perbedaan tingkat, ke-dhabith-an periwayat. Bentuk kongkret ke-syadz-an sanad hadis dalam hal ini adalah keterputusan sanad.
Jadi sekiranya unsur sanad bersambung / periwayatan bersifat dhabith benar-benar telah terpenuhi, niscaya kesyadz-an sanad tidak akan terjadi. Keberadaan unsur terhindar dari Syudzudz dalam kontek definisi tentang hadis sahih bersifat metodologi dan penekanan akan keberadaan unsur-unsur sanad bersambung bersifat dhabith (tepatnya dalam hal ini : periwayatan yang tam al – dhubzh)

E. Terhindar dari ‘Illat
Dalam bahasa arti ‘iiat adalah penyakit, sebab, alasan / udsur. Sedang arti ‘illat disini adalah suatu sebab tersembunyi yang membuat cacat keabsahan suatu hadis padahal selamat dari catat tersebut.
Ulama hadis umumnya menyatakan ‘illat kebanyakan terjadi dan terbentuk :
a) Sanad yang tampak multashil dan marfu’ ternyata muttashil dan mauquf
b) Sanad yang tampal muttashil dan marfu’ ternyata setelah diselidiki muttashil dan mursal.
c) Terjadi kesalahan dalam hal penyebuatan rawi karena adanya rawi-rawi yang punya kemiripan nama sedangkan kualitasnya berbeda dan tidak semua tsiqqah.
Catat hadis ini dapat diketahui dengan cara kecerdasan seseorang isntuisi (ilham), hafalan hadis yang banyak, mendapam pengetahuannya tentang berbagai ke-dhabith-an para rawi, serta ahli dalam bid-sanad dan matan hadis.
Apabila suatu hadis memenuhi syarat kriteria dimula maka hadid tersebut digolongkan sebagai hadis yang shahih al-isnad. Dan dengan demikian tinggal mengadakan kritik terhadap matan hadid tersebut (an-naqd ad-dakhili)





BAB III
PENUTUP


Pengertian hadits Shahih adalah hadist yang memenuhi 5 syarat yaitu :
- Persambungan sanad
- Keadilan para perawi (adalah ar-ruwah)
- Para perawi bersifat dhabith (dhabith ar-ruwah)
- Tidak terjadi kejanggalan (syadzdz)
- Tidak terjadi illat



DAFTAR PUSTAKA


Matsna, Moh. Qur’an Hadits. Semarang : PT. Karya Toha Putra. 1997.
Shiddieqy, T.M. Hasbi Ash. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits. Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1987.
Ilyas, Yunandar. Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadits. Yogyakarta : LPPI. 1996.
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadits. Jakarta : Amzah, 2002.
Ismail, M.Syuhudi. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta : PT. Bulan Bintang. 1995.
http://fadliyanur.multipy.com/journal/item/36

Tidak ada komentar: