filsuf profesional, dan dosen filsafat itu.
Menurut Popper, data inderawi atau kesan sederhana itu tidak ada. Itu semua hanyalah khayalan yang keliru untuk mengalihkan atomisme dari fisika ke psikologi. Kita tidak berpikir dalam citra-citra, melainkan dalam istilah problem-problem dan solusi tentatif atasnya. Studi logika lebih penting daripada studi mengenai proses pemikiran subyektif. Kalau dunia obyektif merupakan produk akal budi¾maka sikap act of faith¾kepercayaan pada akal, menjadi penting. Dan rasionalisme yang diperjuangkan oleh Popper bersifat jatmika, modest, kritis terhadap diri sendiri. Itulah Kejatmikaan Intelektual. Dengan ini pula Popper menegaskan, bahwa bukan hanya proses belajar saja yang bersifat problem solving, melainkan juga hidup itu sendiri. Hidup¾nilai¾problem solving, saling bertemu dalam asal-usul. Dalam segala benda hidup, dari sejak lahir, tertanam suatu kecenderungan untuk membuat hipotesa. Inilah yang mendorong Popper mengembangkan metoda problem solving yang digunakan oleh seluruh organisme hidup dalam proses adaptasi. Hal ini jualah yang membuat Popper semakin ragu mengenai thesis Marx tentang sejarah, Freud tentang psikoanalisa, dan Alfred Adler tentang psiko individual.
Kalau demikian halnya, maka segala bentuk proses kehidupan dengan sendirinya memerlukan kepemimpinan. Kepemimpinan untuk menjadi pioneer, kepemimpinan untuk memecahkan masalah, dan kepemimpinan untuk menemukan inspirasi-inspirasi baru yang otentik dan maju. Mengenai hal ini, Pierre Teilhard de Chardin, dalam The Phenomenon of Man (New York; Harper; 1961) mengatakan: “Kemungkinan yang satu ialah tertutupnya alam semesta ini bagi masa depan kemanusiaan, yang berarti bahwa daya-pikir manusia, yang merupakan hasil usaha selama jutaan tahun itu, menjadi lumpuh, mati, dalam sebuah alam semesta yang tidak mempunyai makna apa-apa. Kemungkinan yang lainnya ialah terbukanya sebuah jalan …”.
Tesis tersebut membawa kita ke sebuah penjelajahan baru guna memberikan makna dan bentuk yang lebih fenomenologis pada konsep kepemimpinan. Artinya, bahwa kepemimpinan kita perlukan adalah ya, tetapi dalam konsep dan konteks yang mau tidak mau untuk memecahkan masalah. Karenanyalah kepemimpinan yang menggejala bukan sekadar atribut yang menempel pada individu sang pemimpin, melainkan berupa bahasa sebagai penjelmaan hasil usaha untuk beradaptasi. Konkretnya, kepemimpinan adalah bahasa itu sendiri. Buhler, profesor psikologi di Universitas Wina, membagi tiga tingkat fungsi bahasa: fungsi ekspresif, fungsi stimulatif, dan fungsi deskriptif. Lalu kelak, Popper menambahkan satu fungsi lagi yaitu fungsi argumentatif.
Jadi jika kepemimpinan adalah bahasa, maka kepemimpinan baru bisa tampak kalau ia telah menjelma sebagai ekspresi yang menggambarkan kebutuhan, keinginan, dan harapan dari sebuah komunitas. Ia akan melahirkan gerak yang menyediakan dinamika demi dinamika. Namun gerak tersebut bisa berhenti manakala tidak terus-menerus diberi rangsangan-rangsangan baru. Itulah fungsi kedua dari kepemimpinan.
Akan tetapi dalam proses perjalanan menemukan dan memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan, kadang manusia mengalami kemandegan, kebuntuan, dan ketakberdayaan. Disinilah kepemimpinan membawa fungsi untuk mendeskripsikan keadaan dengan segala unsur-unsur yang mempengaruhinya. Lalu bagaimana pula deskripsi tentang peluang masa depan berikut strategi dan taktik untuk mewujudkannya? Seluruh proses tersebut akan saling bertemu dalam asal-usul, dan tentu saja setelah melewati sebuah ujian melalui praktek fungsi argumentatif dari kepemimpinan itu sendiri. Pada tahap inilah kepemimpinan harus menampakkan halnya baik yang esoterik maupun yang eksoterik. Karena tanpanya, kepemimpinan hanyalah slogan, hanyalah jargon yang lahir dari sikap “kejumawaan intelektual”. Padahal kepemimpinan adalah merupakan sebuah perilaku dari hasil sikap “kejatmikaan intelektual”.
Inilah yang menjadi alasan kuat bagi Noel M. Tichy, dalam The Leadership Engine, untuk secara tegas menekankan bahwa seorang pemimpin yang berhasil haruslah menjalankan fungsi dan peran belajar dan mengajar.
http://sekarkedhaton.wordpress.com/2008/06/05/kata-pengantar/
tanggal pengambilan : 14 oct 2009
jam : 23.19
Epistemologi, (dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan.
Epistomologi atau Teori Pengetahuan berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.
http://id.wikipedia.org/wiki/Epistemologi
tanggal pengambilan : 14 oct 2009
jam : 23.28
Tidak ada komentar:
Posting Komentar